Urgensi Reformasi Sistem Pemajakan untuk Mewujudkan Keadilan Fiskal di Indonesia

8 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tax
Iklan

Urgensi Reformasi Sistem Pemajakan untuk Mewujudkan Keadilan Fiskal di Indonesia

Oleh : Aryanto Adjie Dinata, mahasiswa Universitas Pamulang

Reformasi perpajakan menjadi isu sentral dalam agenda kebijakan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional yang semakin besar, sistem perpajakan Indonesia dituntut untuk lebih adil, efisien, dan berkelanjutan. Namun, pertanyaannya adalah: apakah sistem perpajakan saat ini sudah mencerminkan asas keadilan dan kepastian hukum yang diamanatkan oleh konstitusi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Asas Keadilan dalam Sistem Pajak

Pasal 23A UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Kalimat ini menunjukkan pentingnya legalitas dalam pemungutan pajak, sekaligus menegaskan bahwa setiap kebijakan perpajakan harus mencerminkan prinsip keadilan. Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya dimaknai secara formal (equality before the law), tetapi juga secara substantif yakni proporsionalitas kontribusi berdasarkan kemampuan ekonomis wajib pajak.

Sayangnya, dalam praktiknya, keadilan substantif ini masih menjadi tantangan. Misalnya, struktur pajak penghasilan di Indonesia masih memberikan celah bagi individu dan korporasi dengan pendapatan tinggi untuk melakukan perencanaan pajak (tax planning) yang agresif, bahkan mengarah pada penghindaran pajak (tax avoidance). Di sisi lain, sektor UMKM dan pekerja formal dengan pemotongan pajak otomatis justru menjadi kelompok yang paling patuh namun menanggung beban paling besar secara proporsional.

Pentingnya Kepastian dan Transparansi

Selain asas keadilan, prinsip kepastian hukum juga kerap kali terabaikan. Wajib pajak sering dihadapkan pada interpretasi yang berbeda antara otoritas pajak dan pembayar pajak atas norma perpajakan yang sama. Hal ini membuka ruang sengketa yang menguras waktu, biaya, dan energi. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat sistem regulasi perpajakan dengan prinsip clear and precise norms (norma yang jelas dan tegas), agar tidak multitafsir dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.

Di sisi lain, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan pajak juga harus menjadi perhatian. Keengganan membayar pajak tidak sepenuhnya lahir dari ketidakpatuhan, tetapi sering kali dari ketidakpercayaan terhadap pengelolaan dana publik. Oleh karena itu, reformasi pajak harus berjalan beriringan dengan reformasi tata kelola anggaran negara.

Digitalisasi dan Penguatan Kepatuhan

Kemajuan teknologi memberi peluang besar untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) melalui digitalisasi administrasi pajak. Implementasi core tax system dan  big data analytics harus dimaksimalkan untuk mendeteksi potensi pajak, mengurangi celah penghindaran, dan memberikan pelayanan yang lebih cepat dan akurat kepada wajib pajak.

Namun, penting untuk diingat bahwa penguatan kepatuhan tidak boleh semata-mata dibangun dari pendekatan represif. Pendekatan edukatif, insentif positif, dan simplifikasi regulasi adalah kunci agar sistem pajak tidak hanya ditakuti, tapi juga dipahami dan diterima oleh masyarakat.

### **Penutup: Menuju Sistem Pajak yang Berkeadilan**

Sistem perpajakan yang adil dan pasti merupakan pilar utama negara hukum yang demokratis. Untuk itu, reformasi pajak tidak boleh hanya difokuskan pada aspek penerimaan negara, tetapi juga harus mencerminkan keadilan sosial dan keberpihakan pada masyarakat yang paling rentan.

Pajak bukan sekadar kewajiban, tapi cerminan kontrak sosial antara negara dan warga negaranya. Negara yang ingin ditaati oleh rakyatnya dalam hal perpajakan, harus terlebih dahulu menunjukkan integritas dan keberpihakan dalam kebijakan fiskalnya.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler